Blogger Widgets

Friends


counter

Tuesday, August 6, 2013

My best friend, you are everything......

"Friendship is like a violin. The music may stop now and then, but the strings will last forever"


**
“Sil… sini cepetan, aku ada sesuatu buat kamu”, panggil Morina di suatu sore.
“Iya, sebentar, sabar dikit kenapa sih?, kamu kan tau aku gak bisa melihat”, jawab seorang gadis yang dipanggil Sil dari balik pintu.
 

Sesilia Christabella, begitulah nama gadis tadi, meskipun lahir dengan keterbatasan fisik, dia tidak pernah mengeluh, semangatnya menjalani bahtera hidup tak pernah padam. Lahir dengan kondisi buta, tidak membuatnya berkecil hati, secara fisik matanya tidak bisa melihat warna-warni dunia, tapi mata hatinya bisa melihat jauh ke dalam kehidupan seseorang. Mempunyai hoby melukis sejak kecil, dengan keterbatasannya, Sesilia selalu mengasah bakatnya. Tak pernah sedikitpun dia menyerah.
Duduk di bangku kelas XII di sebuah Sekolah Luar Biasa di kotanya, Sesilia tidak pernah absen meraih peringkat dikelas, bahkan guru-gurunya termotivasi dengan sifat pantang menyerah Sesil. Sejak baru berusia 3 tahun, Sesilia sudah bersahabat dengan anak tetangganya yang bernama Morina Nathalia Saputra, Morina yang cakap di panggil "Morin" anak seorang direktur bank swasta di kota mereka. Morin cantik, pintar dan secara fisik Morin kelihatan sempurna.
 

 ***

Seperti sore ini, Morin sudah nangkring di rumah Sesil. Dia berbincang-bincang dengan Sesil, sambil menemani sahabatnya itu melukis.
 

“Sil, lukisan kamu bagus banget, nanti kamu ngadain pameran tunggal ya, biar semua orang tau bakat kamu”, kata Morin membuka pembicaraan.
“Hah”, Sesil mendesah pelan lalu mulai bicara, “Seandainya aku bisa Rin, pasti sudah aku lakukan, tapi apa daya, aku ini gak sempurna, seandainya aku mendapat donor kornea, dan aku bisa melihat, mungkin aku bahagia dan akan mengadakan pameran lukisan-lukisanku ini” ucap Sesilia dengan kepedihan.
“Suatu hari nanti Tuhan akan memberikan anugrahnya kepadamu, sahabat, pasti akan ada yang mendonorkan korneanya untuk seorang anak sebaik kamu,” timpal Morin akhirnya.
 

Berbeda secara fisik, tidak pernah menjadi halangan di dalam jalinan persahabatan antara Sesil dan Morin, kemana pun Morina pergi, dia selalu mengajak Sesilia, kecuali sekolah tentunya, karena sekolah mereka berdua kan berbeda.
 

Sedang asik-asiknya dua sahabat ini bersenda gurau, tiba-tiba saja Morina mengeluh,
“aduuh, kepala ku”
“Kamu kenapa Rin, sakit??” tanya Sesilia.
“Oh, gak apa-apa kok Sil, Cuma sedikit pusing saja”, ucap Morina sambil tersenyum.
“Minum obat ya Rin, aku gak mau kamu kenapa-napa, nada bicara Sesil terdengar begitu khawatir.
“aku ijin pulang dulu ya Sil, mau minum obat” ujar Morin sambil berpamitan pulang.
Di kamarnya dengan nuansa merah muda mendominasi di setiap sudut ruangan, Morina terduduk lemas di atas ranjangnya,
“Ya Tuhan, berapa lama lagi usiaku di dunia ini?? Berapa lama lagi malaikatmu akan menjemputku untuk menghadapmu?” erang hati Morina.
 

Di vonis menderita kanker leukimia sejak 7 bulan lalu dan tidak akan berumur lama lagi sungguh menyakitkan bagi Morina, usianya yang baru 18 tahun, dengan segudang cita-cita yang dia inginkan, sudah pasti tak satupun akan terwujud.
 


***
 

Pintu kamar Morina tiba-tiba terbuka, seorang wanita cantik paruh baya masuk lalu duduk disampingnya.
“Gimana rasanya sayang? Masih gak enak?? Kita ke dokter sekarang yuk!!” ujar wanita itu dengan lembutnya.
“ngga usah, ma, aku sudah enakan kok, aku cuma mau beristirahat saja”, jawab Morina dengan sopan.
“ya sudah kalau begitu, mama tinggal dulu ya, istirahat ya, Nak,” ujar sang mama sambil mencium kening putri semata wayangnya.
“Makasih ma, aku selalu sayang mama,” lirih Morin berujar.
 

Terus terang Morina sudah tidak kuat menahan rasa sakitnya, tapi dia berusaha menyembunyikan itu dari orang tuanya.
Di ruang keluarga, ibu Lisa, duduk sambil menemani sang suami sepulangnya dari kantor,
“Ma, Morin kemana?? Kok papa gak melihatnya dari tadi?” tanya sang suami.
“Morin lagi istirahat pa, dia pusing dan mengeluh sakit dari tadi”, jawab Lisa.
“Sakit apa sebenarnya anak kita ma?? Kalau kita ajak ke dokter dia selalu menolak, papa rasa ada yang dia sembunyikan dari kita, aku takut penyakitnya parah,” dengan nada khawatir pak Saputra bicara dengan istrinya.
“entahlah pa, mama juga bingung” ujar istrinya lagi.
 

***
 

Ternyata sakit yang dirasakan Morin sore itu adalah detik-detik ia akan segera di panggil oleh Tuhan. Saat minta ijin untuk istirahat pada mamanya, kesehatan Morina benar-benar drop, dengan panik kedua orang tua Morin melarikan putrinya ke rumah sakit, setelah mendapat penanganan oleh tim dokter, Morin sedikit terlihat tenang, namun mukanya terlihat pucat, sinar matanya terlihat begitu redup.
“Pak Saputra, bisa kita bicara sebentar di ruangan saya”, kata dokter Chandra, yang juga merupakan dokter pribadi keluarga Saputra,
“Baiklah dok, “ sambut pak Saputra.
Setelah pak Saputra dan ibu Lisa duduk di ruangan dokter Chandra, mereka akhirnya mulai bicara,
“Maafkan saya sebelumnya pak, sebenarnya saya sudah tau penyakit yang diderita putri bapak sejak 7 bulan lalu, tapi karena putri bapak menyuruh saya merahasiakan penyakitnya kepada bapak dan ibu, saya gak bisa berbuat apa-apa. Putri bapak terkena kanker leukimia,” ujar dokter Chandra lirih.
Cukup lirih memang kata-kata dokter Chandra, tapi mampu membuat jantung pak Saputra dan istrinya berdetak lebih cepat dari biasanya,
“Apa?? Leukemia? Separah apa dok??” keras nada suara pak Saputra.
“Sudah parah pak, umur Morina tidak akan lama” sambung dokter kembali.
 

Setelah berbicara lama dengan dokter, air mata tak pernah berhenti mengalir di pipi Lisa. Dia begitu terpukul mendengar putrinya menderita penyakit itu.
“Sudah, ma, jangan nangis terus, pengobatan Morin akan diusahakan, kita akan mengusahakan kesembuhannya, lebih baik kita berdoa, semoga Tuhan memberikan jalan terbaik buat keluarga kita”, hibur pak Saputra.
“Mari kita tengok Morin!!” ajaknya lagi.
 

Memasuki ruangan perawatan, ibu Lisa berusaha menyembunyikan air matanya, dia tersenyum penuh kepedihan di samping ranjang putrinya,
“Mama, kenapa? Kok sedih begitu?” ujar Morina lirih.
“Gak apa-apa sayang”, berbisik ibu Lisa tak kuasa menahan air matanya.
“Maafkan Morin, Ma, Pa, Morin tak bermaksud membuat Mama dan Papa terluka seperti ini, Morin hanya tak ingin menyusahkan kalian” Morin berkata dengan terbata-bata.
 

Belum ada beberapa menit pak Saputra dan ibu Lisa di kamar putrinya, tiba-tiba Morin kejang-kejang. Dengan panik pak Saputra memanggil dokter Chandra . Dokter Chandra menangani Morina lumayan lama, hingga akhirnya dokter Chandra keluar, muka beliau kelihatan sangat sedih.
“Bagaimana anak saya, dok?” tanya pak Saputra.
“Maaf pak, kami disini sudah berusaha yang terbaik, tapi Tuhan berkehendak lain, Morin sudah dipanggil menghadapNya” ucap dokter.
“Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaakkk”, teriak ibu Lisa histeris,“ Morin tidak mungkin meninggal, Morin masih hidup,” seluruh pengunjung rumah sakit menoleh ke arah mereka.
“Pak, sebelum meninggal, Morin menitipkan ini ke saya, ini buat bapak dan ibu” imbuh dokter Chandra sebelum mohon diri.
 

Sepeninggal Dokter Gunawan, pak Saputra dan istrinya membuka amplop kecil dari Morin, isinya ternyata surat.
 

“Mama, papa, maafin Morin sudah membuat mama dan papa jadi sedih, Morin mohon sama mama dan papa, setelah Morin pergi dari dunia ini, tolong berikan kornea mata Morin untuk Sesilia, tapi jangan bilang itu dari Morin sebelum Sesil benar-benar operasi dan bisa melihat lagi, dan satu lagi, mama tolong kasih Sesil surat yang Morin simpan di laci meja belajar Morin yang amplopnya berwarna pink setelah Sesilia melihat nanti, dan surat buat mama dan papa ada di dalam amplop biru di laci yang sama. Sekian dulu Mama, papa, maaf kalau Morin selalu ngerepotin kalian, Morin sayang kalian, big kis & hug.. muacch”..
Morina Nathalia

 


Selain sepucuk surat itu, ada lagi sebuah surat pernyataan pendonoran kornea mata yang telah lengkap dengan tanda tangan Morin. Hati orang tua Morin tersayat, tapi tak ada yang bisa mereka lakukan selain memenuhi permintaan terakhir sang anak.
 


***
 

Sementara itu, di rumah Sesilia, tampak gadis cantik itu tengah duduk seorang diri di teras rumahnya. Wajahnya tampak sedikit murung,
“kemana si Morin, sudah lebih dari 5 hari dia gak main ke sini, apa dia baik-baik saja?” gumamnya.
“Ma, Morin pernah kesini gak dalam beberapa hari ini?” tanya Sesilia ke pada mamanya.
“Gak ada, Sil, memang kenapa?” tanya sang mama.
“Gak apa-apa, aku boleh ke rumah Morin ya ma??” Sesil meminta ijin ke mamanya.
Tapi diluar dugaan, mama Sesil melarangnya pergi.
“Jangan, kita harus ke rumah sakit sekarang juga, tadi mama ditelepon sama pihak rumah sakit, katanya ada yang menyumbangkan korneanya khusus untuk kamu,” dengan tutur kata yang lembut mamanya menjelaskan.
“Yang bener, Ma? Sesil sudah dapat donor kornea?? Asik-asik!! Sesil akan segera bisa melihat wajah Morina, Sesil bisa segera menggelar pameran lukisan,” ucapnya berapi-api.
“Iya nak” jawab mamanya penuh kepedihan. “seandainya kamu tahu sayang, Morina tak mungkin ada disamping kamu lagi, Morina sudah tenang dialam sana, dan seandainya kamu tahu siapa orang yang mendonorkan korneanya untuk kamu” kata ibu Tessa dalam hati.
 

Waktu berjalan begitu cepat, operasi cangkok kornea sudah dilaksanakan dan sekarang adalah hari yang paling ditunggu-tunggu Sesilia, perban di matanya akan di buka, tim dokter beserta kedua orang tua Sesil sudah ada di ruangan. Sebelum perbannya di buka, Sesilia berujar,
“Ma, Pa, Morin sudah datang?? Ku ingin sekali ada Morina di sini pas aku bisa melihat”
“Belum sayang, Morin masih diluar kota” pedih rasanya hati ibu Tessa saat berujar.
 

 Perban akhirnya di buka, samar-samar penglihatan Sesilia mulai melihat warna, melihat sosok kedua orang tuanya, dia tersenyum, semakin lama semakin jelas,
“Mama, papa aku bisa melihat kalian,” gembira sekali suara Sesilia.
 

***
 

Sudah 1 minggu semenjak Sesilia bisa melihat, hari ini dia memaksa ibunya agar diperbolehkan melihat Morina, mengujungi nya.
“Kata mama Morin, Morin sudah ada di rumah, berarti Sesil boleh main donk Ma, Sesil pingin ngajak Morin jalan-jalan buat merayakan kesembuhan Sesil,”
“Iya, nak, mama sama papa temenin kamu ya!!”
 

Berbeda beberapa rumah antara Morin dan Sesilia merupakan hal yang membahagiakan, tidak perlu capek-capek bermacet-macet ria di jalanan untuk mengunjunginya. Sesampai di rumah Morin mereka disambut ramah oleh keluarga Morin yang kebetulan lagi ada di rumah.
“Selamat sore tante Lisa’” sapa Sesilia dengan senyum sumringah.
Setelah di persilahkan duduk dan menikmati hidangan ala kadarnya, Sesilia menanyakan keberadaan sahabat karibnya,
“Mana Morin nya tante?? Kok gak kelihatan ada di rumah?”
“Morinnya… Morin...Morin....” dengan terbata-bata ibu Lisa menjawab.
“Morin kenapa tante, kemana?? Morin gak apa-apa kan?” bertubi-tubi Sesilia bertanya.
Ibu Lisa tak kuasa menjawab, beliau meninggalkan tamunya di ruang tamu dan berlari naik ke kamar Morin, mengambil sepucuk surat yang dititipkan Morin untuk Sesilia. Ibu Lisa kembali ke ruang tamu dengan sepucuk surat di tangan,
“Ini dari Morin untuk kamu” ujarnya berlinang air mata kepada Sesilia.
 

Dengan tangan gemetar Sesilia membuka amplop berwarna pink yang cantik itu, ada pita pink juga di sudut amplopnya.
 

Dear Sesilia,
“Sesilia sayang, sahabatku yang paling baik, apa kabar hari ini?? Baik-baik sajakah?? Sehat-sehat?? Semoga sehat ya!! Sesil, saat kamu membaca surat dari aku ini, mungkin aku sudah tak ada lagi di dunia ini, tak ada di samping kamu, tak bisa menemani kamu bermain, bercanda dan tertawa, maafkan aku ya, Sil.
Sesil sayang, sebenarnya aku ingin sekali cerita ke kamu tentang penyakitku, tapi aku takut membuat kamu kepikiran terus, takut buat kamu gelisah. Sebenarnya aku terkena penyakit kanker leukemia, Sil dan umurku tidak akan lama lagi.
Sesil sahabatku, meskipun aku telah pergi dari sisi kamu, tapi rasa sayang aku ke kamu tak akan pernah berubah, kamu sahabat terbaik di hidupku, kamu tempatku berkeluh kesah, tempatku menumpahkan suka dan duka. Sesil, aku tahu saat kamu membaca ini, kamu sudah bisa melihat indahnya dunia, aku sengaja berikan mataku untuk kamu Sil, hanya itu yang bisa aku berikan, jaga mata itu seperti kau menjaga persahabatan kita.  

Itu dulu ya, Sil, maafkan aku karena harus pergi meninggalkanmu, terima kasih karena sudah memberikan aku arti selama hidup di dunia. Sampai ketemu suatu saat nanti Sil, aku sayang kamu sahabatku.
Kiss and big hug my lovely friend. You are my besties who i have. One and only one in my life….
Dariku yang selalu menyayangimu,

Morina Nathalia
.......

Air mata mengalir deras di pipi Sesilia,
“Ini gak mungkin” katanya lirih. Dia menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar tak percaya, sahabatnya sudah kembali ke pangkuan Tuhan, Sesilia menatap selembar foto yang juga ada di dalam amplop surat tadi, foto Morin tersenyum manis ke arahnya, mata Morin yang teduh, sekarang ada padanya. Sesilia meminta agar kedua orang tua Morina mengantarnya ke kuburan.
 

Lumayan jauh dari rumah Morina, kaki Sesil lemah, tapi dia berusaha mengikuti langkah kaki orang tuanya dan orang tua Morin ke sebuah makam, yang begitu tertata rapi, taburan bunga masih segar, tanah pekuburannya juga masih basah.
 

Sebuah Nisan yang begitu cantik dihadapan Sesilia, membuatnya semakin terluka, jelas tersurat di batu nisan berwarna putih itu nama sahabat karibnya.
 

“Morina Nathalia Saputra”
Lahir 28 Januari 1995

Wafat 29 Juni 2013

Berjongkok Sesilia membelai nisan itu, gerimis turun membasahi nisan, semakin lama semakin deras, sederas airmata yang jatuh di pipi Sesilia,
“Kenapa secepat ini kau tinggalkan aku, Rin?? Tega kamu meninggalkan aku seorang diri disini??” Morin, terima kasih sayang, kamu telah memberikan aku sepasang mata untuk melihat dunia ini, terima kasih karena telah mengajariku tentang ketulusan sebuah persahabatan, terima kasih atas senyum termanis yang pernah kau hadirkan di hidupku” ucap Sesilia sambil terisak lirih di atas nisan.

Tangan lembut ibu Tessa terulur ke arah putrinya,
“Bangun Sil, sudah, ikhlaskan saja Morin, dia sudah tenang di sana, dia sudah berada di pangkuan Tuhan, yang harus kamu tahu, Morin tak pernah ingin kamu cengeng, kamu harus tetap semangat menjalani hidup kamu,” bimbing ibu Tessa.
“iya ma, terima kasih, aku hanya sedih saja, tapi aku janji gak akan cengeng lagi setelah hari ini”, kata Sesilia.




****

"Persahabatan bagaikan Mata dengan tangan. Saat tangan terluka, mata menangis. Disaat mata menangis, tangan selalu ada untuk menghapus air mata"















 

 

 

 

 

 

 

 

-miekoVika-

1 comment: